Kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan oleh dua anggota Brimob berinisial E dan S pada bulan Februari 2013 lalu telah sampai ke meja hijau. Kedua anggota polisi yang diketahui berpangkat Bripka tersebut diduga telah melakukan sodomi terhadap bocah kecil berinisial FF.
Setelah perkara ini berhasil berjalan hingga ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pihak keluarga korban mengeluh karena penegakan hukum tidak pro anak. Dalam hal ini, pihak JPU yang seharusnya menyampaikan tuntutan sebulan lalu namun hingga tanggal 2 Juli 2013 kemarin selalu ditunda. Keluarga korban pun terkatung-katung menunggu penyelesaian perkara ini.
Menurut rilis yang diterima merdeka.com dari LBH Mawar Saron, Sikap Hakim yang tidak kooperatif dalam memberikan akses informasi atas pemantauan perkara ini pun sempat dipermasalahkan oleh kuasa hukum korban. Kuasa hukum korban bahkan sempat diusir dari ruang persidangan dan tidak diperbolehkan mendampingi korban yang masih berusia balita dan orang tuanya ini.
"Selain itu, sejak perkara masih dipemeriksaan pada tingkat penyidikan, keluarga korban tidak pernah mendapatkan informasi apapun terkait penanganan dan perkembangan perkara tersebut. Padahal menurut Pasal 64 ayat (3) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan," ujar pengacara korban dari LBH Mawar Saron, Jecky Tengens dalam rilisnya, Rabu (3/7).
Menurut Jecky, dalam kasus ini terlihat bahwa hukum yang seharusnya memberikan keadilan, kepastian dan perlindungan terhadap setiap warga Negara tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. "Jika Polisi, Jaksa dan Hakim tidak dapat menjamin terpenuhinya hak-hak dari FF dan keluarganya, maka timbul pertanyaan kepada siapa lagi mereka akan mengadu," terang Jecky.
Sebelumnya E bersama rekannya S telah ditahan di Polres Metro Jakarta Timur. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto mengatakan, jika keduanya memang terbukti bersalah mereka terancam akan dipecat secara tidak hormat dari kesatuannya.
"Jika terbukti bersalah maka EK akan digelar sidang kode etik kemudian digelar pula PTDH (Pemecatan Tidak Dengan Hormat)," ujar Rikwanto, di Mapolda Metro Jaya, Selasa (26/2).
Pemecatan, lanjut Rikwanto, akan digelar setelah yang bersangkutan menjalani sidang pidana umum. "Jadi begitu pengadilan menyatakan yang bersangkutan terbukti bersalah maka baru digelar PTDH," tutur Rikwanto.
0 komentar:
Posting Komentar