Wengker sebelum jaman Majapahit
Setelah kerajaan Medang di Jawa Tengah bubar, tahun
928 M Mpu Sindok pindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok naik tahta menjadi raja
pertama kerajaan Medang di Jawa Timur tahun 929 M bergelar Sri Isyana Wikrama
Darmatunggadewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300
tahun berturut-turut. Ia memerintah dengan permaisurinya Parameswari Sri
Wardani mpu Kbi (Putri Rakai Wawa), untuk menjalankan pemerintahan. Dalam buku “Babad
Ponorogo” karya Purwowijoyo, disebutkan selain Mpu Sindok ada lagi satu
rombongan yang pindah ke Jawa Timur dibawah pimpinan Ketut Wijaya, putra raja
Medang. Kemudian mendirikan kerajaan yang diberi nama Wengker. Ketut Wijaya
berkuasa tahun 986 -1037 M.
Nama Wengker adalah akronim dari “Wewengkon angker”
atau tempat yang angker. Letak kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya
bermacam versi. Dalam “Babad Ponorogo” disebutkan Sebelah utara : antara gunung
Kendeng dan gunung Pandan, Sebelah Timur : Gunung Wilis sampai wilayah laut
Selatan. Sebelah Selatan : Wilayah Laut selatan, dan Sebelah barat : pegunungan
mulai laut selatan sampai Gunung Lawu. Dalam buku ini juga disebutkan keraton
Wengker di sekitar Setono Kecamatan Jenangan (mengutip pendapat dari Prof.Dr.
NJ.Krom dan Dra.Setyawati Suleman). Digambarkan Kerajaan Wengker pada saat itu
aman santosa, rakyatnya senang melakukan tapa brata dan menguasai banyak ilmu
batin. Adapun batas wilayah ditandai dengan sungai, untuk pertahanan wilayah
terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Versi lain
sebagaimana dalam buku “Ungkapan sejarah kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo”
(Moelyadi) letak kerajaan Wengker masa ini adalah di daerah Dolopo Madiun,
pusatnya di Desa Daha.
Pada tahun 947 M, Mpu Sindok digantikan anaknya yang
bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya
ia digantikan putranya, Sri Makuthawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana
mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa.
Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang tampuk kekuasaan di
Medang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah
dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medang, Dharmawangsa
mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medang saat itu
diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan
Pada tahun 1016 M, kerajaan Medang diserang Sriwijaya
bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan
seluruh pembesar istana tewas. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Pralaya“
atau kehancuran. Dalam Prasasti Kalkuta yaitu Prasasti Airlangga, disebut bahwa
“Ri Prahara, haji Wurawari maso mijil sangka Lwaran”. Letak Wurawari ada
beberapa pendapat. Menurut Moh. Hari Soewarno di Jawa Timur. Menurut
Prof.Dr.G.De Casparis dari Semenanjung Malaka. Ada pula yang berpendapat di
Banyumas. penyerangan Raja Wurawari ada yang berpendapat disebabkan iri atas
kegagalannya mempersunting putri Dharmawangsa. Selain itu berserta sekutunya
ingin menghancurkan Medang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh
ekspansif Medang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan di bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan
tersebut adalah Airlangga, yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan
dengan putri Dharmawangsa. Pada waktu itu usia Airlangga 16 tahun, beserta
Narotama ia bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri. Pada tahun 1019 M,
Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan
bekas Kerajaan Medang. Saat itu bekas Kerajaan Medang sepeninggal Dharmawangsa
merupakan wilayah yang kecil karena setelah “pralaya”, wilayah Medang
terpecah-pecah.
![]() |
Patung Ghanesa di duga peninggalan Wengker |
Tahun 1028 M, Airlangga memulai
usahanya menyatukan kembali wilayah Medang, termasuk terhadap Kerajaan Wengker.
Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 M Kerajaan Wengker
ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan
kekuatan pasukan yang besar pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami
kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya
lari ke desa Topo, kemudian pindah ke Kapang diikuti beberapa prajuritnya.
Karena terus diserang pasukan Airlangga ia lari ke Sarosa. Di sinilah akhirnya
Ketut Wijaya bisa dikalahkan, dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri, versi
lain mengatakan Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (moksa). Sumber lain
ada menyebutkan, setelah dikalahkan Airlangga Kettu Wijaya menjadi pertapa.
Dengan demikian berakhirlah riwayat kerajaan Wengker era Kettu Wijaya.
Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Raja Wengker selanjutnya adalah Prabu Jaka Bagus (Sri
Garasakan), yang memerintah Wengker tahun 1078 M, lokasi Wengker diperkirakan
di utara gunung Gajah, desa Bangsalan Kecamatan Sambit Ponorogo. Prabu Jaka
Bagus dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa, untuk memiliki kesaktian
tersebut ia tidak mempunyai istri, sebagai gantinya ia memelihara laki-laki
sebagai gantinya atau yang biasa disebut “gemblak”. Raja Jaka Bagus dikenal
sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari WARA=pria agung, pria yang
diagungkan.
Wengker di masa Kerajaan Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah Kerajaan
Wengker tidak pernah terjadi peperangan maupun persengketaan, sebaliknya
menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu
Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal Airlangga terjadi
perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil itu
digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit
nama Wengker masih eksis bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin
seorang raja bernama Raden Kudamerta (Wijayarajasa), dalam Kitab
Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang
Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Dari kitab ini
menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa, sebagai
raja pertama. Dalam Kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan
Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre
Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Cri Wijayarajasa. Yang
dimaksud Bhre Dhaha adalah dewi Maharajasa adik Tribhuwana. Berarti
Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan
tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit, antara lain : salah satu dari 8
tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M,
diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan
agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan
Gajahmada atas peristiwa Bubat, dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana
Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi/paduka
Sori menikah dengan Hayam Wuruk tahun 1357M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal
menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan
itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik
TriBhuawana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk dan Susumma Dewi adalah
sama-sama cucu Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua
kerajaan (Majapahit dan Wengker), menurut Dr.NJ.Krom bahwa untuk pergi ke Bubad
disamakan pendapat dengan ke Wengker. Sepeti kita ketahui Perang Bubad terjadi
sebagai akibat perkawinan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan
kerajaan disekitarnya. Dalam hal ini meski Wengker adalah daerah kekuasaan
Majapahit, tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit kala itu.
Dalam kurun waktu ini, dari berbagai sumber memang
jarang diungkap keadaan dalam kerajaan Wengker sendiri karena memang peran
Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri.
Ada yang memperkirakan pusat pemerintahan Wengker pada saat itu berada di
sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 saka
dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Era kepemimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya
adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawaijaya. Ia
memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun
1447-1451 M. Setelah kekosongan kekuasaan selama tiga tahun ia memimpin
Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre
Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai
masa ini nama Wengker masih disebut-sebut dalam sejarah Majapahit.
Wengker dimasa Kerajaan Demak
Bintoro
Diakhir kejayayaan Majapahit yang mana wilayah
majapahit terpecah-pecah. Wilayah seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan
Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan kecil yang tumbuh menjadi besar adalah
kesultanan Demak yang diperintah Raden Patah sekitar awal abad XVI. Demak
menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Raden
Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar sultan. Dari
Demak agama Islam disebarkan ke seluruh Jawa bahkan luar Jawa.
Raden Patah adalah putra Prabu Majapahit dengan putri
Cina yang pada waktu hamil muda diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir
diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri putri Cina adalah
Brawijaya terakhir. Arya Damar menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya
tesebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui
Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak dewasa kerajaan Hindu
Majapahit telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang
telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan
ini dipergunakan Raden Patah menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Raden Patah
mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah
tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal, setelah cukup diberi
kedudukan di Bintoro.
Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal
tersebut raja Majapahit, prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi
mangkubumi di Bintoro. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi
kerajaan Islam pertama dengan nama Demak tahun 1481 M, dibawah pimpinan Raden
Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak, Majapahit semakin parah
dilanda krisis, Brawijaya telah diganti/direbut Girishawardana yang sebenarnya
tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah
member wilayah kekuasaan kepada Raden Patah yang kelak dikemudian hari
berkembang menjadi Kerajaan Demak. Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V
lain yang bernama Raden Katong yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga
terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu
yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Katong disuruh menghadapkan
demang tersebut ke Majapahit. Selain itu Raden Katong masuk Islam.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau
terkenal dengan sebutan kutu. Ia punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat
keraton maka oleh Prabu Kertabumi / Brawijaya V, ia diberi jabatan demang.
Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker,
yang mana seiring semakin lemahnya Majapahit. Ki Ageng Kutu meneruskan tata
cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan
beladiri dan berperang serta tapa brata.
Sementara itu Raden Katong dating ke wilayah Wengker
bersama dengan Seloaji. Mereka menemui Ki Ageng Mirah yang merupakan putra Ki
Ageng Gribig, seoarang ulama dari Malang. Ki Ageng Mirah adalah penyebar Islam
di Wengker. Banyak hal penting yang dijelaskan Ki Ageng Mirah kepada Raden
Katong, termasuk kesulitannya dalam menyebarkan agama Islam. Mereka kemudian
sepakat berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Ki
Ageng Mirah atas dasar penyebaran agama Islam. Mereka selalu koordinasi
terhadap apa yang mereka hadapi dalam perjuangan ini. Ki Ageng Mirah senang
mendapat mitra Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden
Katong adalah Ki Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedang Ki Ageng
Mirah kesulitan dalam menyebarkan agama Islam.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan
persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Ki Ageng Mirah
terhadap Ki Ageng Kutu secara dialogis agar Ki Ageng Kutu bersedia menghadap ke
Majapahit. Tapi Ki Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain Kerajaan
Majapahit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah
Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Dia menganggap
penyebaran Islam dipimpin Raden Patah dan justru Majapahit mengangkatnya
menjadi penguasa Demak Bintoro. Ki Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkan
Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tapi Ki Ageng Kutu
tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi
aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Ki Ageng Mirah
gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal
dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya
adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Ki Ageng Kutu. Rombongan
pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong enggan
bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Ki Ageng Kutu terhadap Majapahit
begitu banyak. Tetapi Seloaji member nasehat bahwa apa yang dianggap Ki Ageng
Kutu benar adalah menurut ki Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan
menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan
untuk menumpas, maka ia menasehati Raden katong untuk tidak ragu-ragu
bertindak.
Maka singkat cerita terjadilah peperangan antara
tentara Majapahit yang dipimpin Raden Katong beserta Ki Ageng Mirah dan Seloaji
serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi
perang yang dilakukan tidak dibahas ditulisan ini. Maka pada tahun 1468 M, kutu
sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Katong dan bala tentaranya. Ki
Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak ditemukan jasadnya atau musnah di bukit
yang kemudian disebut dengan Gunung Bacin. Ki Honggolono sebagai tangan kanan
Ki Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat
kematian Ki Honggolono dan musnahnya Ki Ageng Kutu mengingat mereka berdua
adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut
kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. Konsolidasi dalam keluarga Ki
Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi dua putrid Ki Ageng Kutu yaitu
Niken Sulastri dan Niken Gandini, putra pertama Ki Ageng Kutu yang bernama
Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim
dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman,
Waro Tromejo di Gunung Loreng Slahung.
Setelah bisa menguasai bekas kerajaan Wengker, Raden
Katong mendirikan Kadipaten Baru dengan nama PONOROGO, PONO artinya
sadar/selesai, ROGO artinya semedi. Kadipaten Ponorogo berdiri tahun 1496 M
dengan Raden Katong sebagai Adipati pertama dengan gelar Kanjeng Panembahan
Batoro Katong.
Demikian sedikit tentang sejarah perjalanan Kerajaan
Wengker yang eksis selama ± 500 tahun , yang mana meskipun kerajaan kecil
tetapi sangat diperhitungkan kekuataannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti
Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik,
ekonomi, sosial dan budaya dari daerah yang sekarang bernama Ponorogo ini. sumber pilgrim
0 komentar:
Posting Komentar