Beberapa
partai besar yang menduduki hirarki teratas telah merampungkan siapa
yang hendak dijadikan capres-cawapres 9 Juli 2014 mendatang. Nama
seperti Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta resmi
mendaftarkan sebagai capres dan cawapres. Kedua kandidat ini pula
menjadikan beberapa media sebagai headline atau tranding topik paling
terhangat dibicarakan. Tak pelak kedua nama tersebut membuat kewalahan
lembaga survey dalam memberikan hasil atau poling potensial untuk duduk
di kursi panas presiden dan wakil presiden masa mendatang. Terlepas dari
hal itu, tanpa disadari pertarungan opini menjadi sesuatu yang
urgent—tak lain demi meraup kursi panas nanti. Namun apakah TIMSES
Jokowi maupun Prabowo telah mempersiapkan sejumlah agenda opini yang
hendak digulirkannya? Jawabannya sangat memungkinkan adalah “iya”,
karena dengan membangun opini secara tidak langsung membuat masyarakat
sebagai “objek” akan terjerat pada kuda troya fanatisme.
Untuk
mencermati lebih dalam, kini opini sudah bergerak pada isu-isu
seksis—mulai dari aspek SARA hingga index persepsi kasus personal maupun
partai—menjadi konsen builder of negative opinion .
Rasionalisasi isu atau oponi menjadi hal utama bagi Timses (tim sukses)
bakal presiden. Dengan rentetan pristiwa—yang menghinggapi
person/partainya menjadi bumbu sedap untuk dihidangkan nanti.
Pertarungan opini pun dimulai dari berbagai sudut kelemahan person atau
partai pengusung Bakal Capresnya. Sejauh pengamatan penulis melihat isu
yang digulirkan oleh builder of opinion akhir-akhir ini, pertama terkait ekonomi, sosial-budaya dan kedua persoalan sipil-politik.
Untuk
lebih jelasnya pertarungan pun lebih mengerucut pada persoalan personal
atau partai pendukung /pengusung. Misalnya saja kubu Jokowi
mendapat tantangan serangan tentang inkonsistensi jabatannya sebagai
Gubernur Jakarta, keturunan tionghoa, Jokowi presiden boneka, antek
Amerika, putra sulung Jokowi terima suap, keterlibatan korupsi pengadaan
bus transjakarta, pengusung liberalisme agama, pendukung kesetaraan
gender (LGBT), pencabutan sertifikasi guru dan sederet isu lainnya.
Isu
sekunder partai (PDIP) pun bergeser serta berakibat pada person Jokowi,
antara lain partai PDI P sebagai penjual aset negara—hal itu bisa
dibuktikan dengan rekam jejak Megawati ketika menjadi presiden pada
2001-2004 yang mana perusahaan BUMN telekomunikasi (Indosat) harus
beralih kepemilikan kepada pihak swasta. Belum lagi berita lama lepasnya
pulau Sipandan dan Ligitan ketika pemerintahan Megawati telah menguak
kembali kepermukaan. Di tambah lagi dengan
kebijakan Megawati dalam sistem kerja outsourcing, seolah menampik
ideologi partai yang berbasis sosialis menjadi partai pengusung
kapitalis.
Dari kubu
lain, Prabowo ditantang serta mendapat serangan pada persoalan
pelanggaran Ham terkait penculikan aktivis 1997-1998. Tragedi yang tak
akan pernah terlupakan oleh sebagian keluarga korban dan masyarakat
Indonesia, di mana penculikan serta penghilangan orang secara paksa
dilakukan oleh pasukan TIM Mawar—, pada waktu itu Komandan Koppasus
Prabowo seharusnya bertanggung jawab lebih, namun pengakuan Prabowo
hanya menghasilkan hukuman pemecatan melalui dewan kehormatan perwira
(DKP). Hasil yang sangat mengecewakan pula bagi
keluarga korban ketika Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan
pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama
1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58
korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta
seorang purnawirawan TNI.
Di lain pihak, isu keberadaan Kewarganegaraan Prabowo mencuat kembali ke permukaan. Sebelumnya, muncul isu yang menyebutkan jika Prabowo pernah meminta dan menerima status warga negara Jordania pada 1999.
Isu lain yang berhembus pada prabowo adalah kembalinya rezim demokratis
menjadi rezim otoriter, bangkitnya militerisasi sebagai tonggak
pemerintahan, peningkatan keamanan nasional dengan mengorbankan hak
kebebasan Sipol (sipil-politik), pembungkaman hak berpendapat dan
beropini pada masyarakat sipil. Bagi sebagaian pengamat HAM, pelanggaran yang dilakukan Prabowo merupakan sisi potensial pembungkaman hak kebebasan masyarakat.
Kedua
persoalan di atas merupakan pertarungan fakta yang dibalut halus dengan
opini, pada akhirnya tanpa disadari kita kehilangan kejerninhan antara
fakta dengan opini, begitu pun sebaliknya. Guna
melihat persoalan agar lebih jernih, apakah kasus tersebut merupakan
lontaran opini yang bersifat politis ataukah fakta? Langkah terbaik
adalah menggunakan metode skiptisme dalam per-opinian seperti yang
dikatakan oleh Juan Baggini seorang Editor The Philosophers Magazine.
……………………………………………………
Keterkaitan Dengan Kondisi Indonesia
Melihat
isu dari sebagian masyarakat pendukung, Nama Prabowo-Hatta memang
dipenuhi pembicaraan dapat menyelamatkan eksistensi bangsa dan negara,
adapun Jokowi-JK bisa mengibarkan demokrasi dengan sejumlah
kesejahteraan perekonomian rakyat. Janji memang sekedar janji, batasan
janji seorang capres dan cawapres hingga kini menjadi persoalan, janji seorang Capres-Cawapres menjadi bahan baku untuk menutupi index keburukan setiap Capres-Cawapres. Meskipun begitu, untuk mengungkapannya seberapa jauh janji-janji mereka berpengaruh pada kebijakan nanti yaitu dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Memang,
sederet persoalan negeri seoalah menjadi estafet pembagian kekuasaan
belaka, ini bisa dilihat dari persoalan orde baru, masa transisi sampai
pasca reformasi hampir tak jauh berbeda persoalannya. Di wilayah
perekonomian, kita seoalah terhibur dengan perkembangan ekonomi di
Indonesia pasca reformasi, Namun nyatanya kita masih melihat banyaknya
ketimpangan sosial, kemiskinan, kelaparan, busung lapar diberbagai
wilayah Indonesia. Belum lagi menyangkut kebijakan ekonomi semi liberasi
dengan mengesampingkan nilai nasionalisasi aset (sumber daya). Hal ini
bisa terlihat dari kasus besar Indonesia seperti: dominasi ekonomi oleh
asing, eksploitasi sumber daya alam, serta penggusuran nilai sosial
/sistem adat menjalar di mana-mana. Misalnya dominasi asing terkait
minyak dan gas (Migas) di Indonesia—sekitar 329 blok Migas atau 65%
dimiliki asing, sedangkan sisanya perusahaan Indonesia. Tambang lain
seperti Emas papua dikuasai PT. Freeport (Amerika Serikat), begitu pun
tambang nikel di Sulawesi yang dikuasai oleh perusahaan asal Brazil.
Tren
ekspoitasi dan privatisasi air pun di negeri ini sudah sangat
memprihatinkan. Berdasarkan pengamatan Ahli, Indonesia pada 2025 nanti
akan mengalami defisit Air sekitar 78,4%, artinya
persoalan ini amatlah mengancam eksistensi masyarakat Indonesia dalam
hal kebutuhan terhadap air. Ditambah lagi dengan maraknya Privatisasi
air oleh perusahaan asing seperti pada kasus penjualan saham PDAM Jaya
kepada Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water
(Inggris) pada tahun 1998. Di mana awalnya perusahaan ini bertujuan
untuk meningkatkan produksi, distribusi dan pengolaan air, namun tujuan
itu tidak terlaksana, yang ada ialah penaikkan tarif air PAM ibukota
selama kurun 1998-2004 telah mencapai 5 kali.
Persoalan
menarik lainnya yaitu sistem eksistensi nilai sosial dan adat Indonesia
yang mulai luntur. Fakta ini bisa dilihat dari maraknya ekspansi asing
hadir dalam budaya, nilai sosial maupun ekonomi, yang pada akhirnya
terasingnya masyarakat Indonesia di negerinya sendiri. Maraknya kasus
pencaplokan seni-budaya adat bangsa bermula dari kurangnya ketahanan
(proteksi) nilai bangsa dalam beberapa peraturan Indonesia, ditambah
lagi dengan arus globalisasi menghantam eksistensi bangsa, misalnya saja
Sejak PT. Freeport mendapat mandat panjang untuk melakukan eksplorasi,
masyarakat adat di Papua mulai terancam eksistensinya, seolah hal ini
sudah tak diperdulikan oleh pemerintah. Kasus hilangnya tanah adat,
budaya lokal dijadikan komoditi, serta banyak lagi kasus-kasus endemik
terkait masalah sosial budaya Indonesia.
Pada
persoalan lain seperti kasus korupsi di Indonesia menjadi problem
mengakar hampir di seluruh instansi negara baik departemen maupun
non-departemen. Korupsi dengan modus seperti
pemerasan, pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, mark up, pemotongan
anggaran, proyek fiktif, suap atau gratifikasi, penyalahgunaan anggaran
penggelapan dan sebagainya— menjadi ciri khas
modus-modus korupsi di Indonesia. Yang sangat menggila adalah kasus
kosupsi yang melibatkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Nilai idealisme
MK sebagai benteng pertahanan kontitusional warga negara justru
kehilangan jatidirinya. Yang sangat
mengerankan kini mucul kembali kasus yang melibatkan departemen agama.
Sakralitas agama mulai dijadikan ladang korupsi oleh departemen agama,
bukan menjadi arah bermoral bagi departemen lain malah menjadi mafia
terkorup di Indonesia.
Persoalan
hukum tak kalah ketinggalan menjadi potret buramnya sistem hukum di
Indonesia. Seperti Catatan Komisi Hukum Nasional RI dalam bukunya Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia 2009, mengatakan: sejumlah persoalan hukum seperti penyalagunahan kewenangan (abuse of power) olehpenegak hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, kemudian
kerawanan dalam penindakan oleh dua lembaga seperti KPK dan
Kepolisian-Kejaksaan menjadi tarik ulur rendahnya penindakan kasus
hukum. Diperparah pula lemahnya pemenuhan hak-hak pencari keadilan serta
bantuan hukum secara pro bono (gratis) bagi masyarakat menjadi
daftar lemahnya hukum di Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan
minimnya pengawasan eksternal pada penegak hukum seperti Komisi
yudisial, Komisi Kepolisian nasional (kompolnas), Komisi Kejaksaan,
Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Ombudsman dan
sebagainya—karena kewenangannya hanya sebatas pengawasan belaka.
Kemudian Persoalan kebijakan hukum Indonesia menjadi hal tersendiri,
seperti minimnya penghormatan hak asasi manusia, minimnya transparansi
kelembagaan penanganan keadministrasian serta akuntabilitas keuangan dan
terakhir minimnya supremasi hukum. Belum lagi persoalan arah reformasi
birokrasi seolah stagnan di tempat, keberlakuan reformasi hanya pada
tataran normativitas, bukan pada tataran keterlaksaan.
Pada
persoalan lain, seperti buramnya penghormatan hak sipil politik dalam
kasus HAM—yang hingga kini masih belum terselesaikan, menjadi daftar
lemahnya tingkat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Deretan kasus
seperti Timur-Timur pasca jajak pendapat, penculikan dan penghilangan
paksa 1998, penembakan kasus Trisakti, Kasus Abepura Papua, pristiwa
tanjung priok dan lainnya—menjadi buruknya
aplikasi hak asasi manusia. Belum lagi persoalan pluralitas suku, agama,
budaya dan etnis Indonesia menjadi kendala tersendiri bagi sebagian
kalangan, tak pelak konflik SARA menjadi sesuatu problematis dan selalu
meningkat tajam konfliknya. Misalnya saja kebebasan hak berekspersi di
Indonesia—sebagian golongan merasa teracam jika kebebasan minoritas
berkembang pesat. Tak hanya disitu ancaman dari golongan minoritas
seperti hendak mendirikan rumah ibadah sering kali diperlakukan tidak
adil. Bahkan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting)
menjadi tak terhindarkan. Diperparah dengan penegak hukum yang seolah
tak punya taring ketika berhadapan dengan penganut mayoritas.
Perselisihan terkait subordinasi ras dan suku menjadi persoalan lain,
hal tersebut ada karena regulasi tak berpihak pada salah satu suku.
……………………………………………………
Dari
rentetan persoalan yang tak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis,
merupakan tantangan tersendiri untuk memikirkan kembali siapakah yang
pantas dan tepat untuk menjadi pemimpin 2014-2019 nanti. Yang terpenting
adalah Permasalahan serta polemik yang ada pada bangsa ini untuk
dicermati dan dkritisi ketika debat capres-cawapres nanti.
Jangan
sampai pertarungan opini telah membuat fakta seolah melayang tak
bernalar alias kita kehilangan logika sehat kita untuk mengkritisi mana
fakta dan mana opini. Perlu di ingat kembali janji seorang kedua kandidat Capres-Cawapres bukan menjadi bahan baku dijadikan pilihan. Tetapi lihatlah seberapa jauh janji-janji mereka—dengan mengukur (measure) persoalan bangsa pada tract record dan index persepsi atau keterjangkitan kasus (baik fakta maupun opini).
Janganlah
kasus besar di atas dijadikan kuda troya demi meraup kursi panas
presiden nanti, seharusnya ini menjadi kacamata para pemilih guna
memikirkan kembali seberapa jauh track record Capres
berpengaruh terhadap persoalan bangsa di depan mata. Apakah dengan
pertimbangan banyak opini negatif dan minim fakta kita terus memutuskan
untuk memilihnya, menurut saya tentu tidak. Pertimbangan Elektabelitas
bukan merupakan indikator keberhasilan seorang calon presiden nanti.
Tetapi bisa menanggapi seluruh persoalan baik bersifat sipol
(sipil-politik) maupun ekosob (ekonomi-sosial-budaya) menjadi prioritas
utama problem solving. Tak ada dikotomi antara sipil maupun
militer, yang terpenting yaitu memaksimalkan kebutuhan bangsa dengan
sejumlah masalah yang ada. Sungguh ironis negeri ini jika kasus besar
tak pernah disasar oleh sang pendekar sadar (Baca: Capres).
***Salam Pecinta Kesederhaan
0 komentar:
Posting Komentar