Tim investigasi TNI AD yang telah
menyampaikan pengakuan 11
anggota Kopassus sebagai pelaku
penembakan di Lapas Cebongan,
Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, kepada masyarakat. Namun, dengan sudah diketahui
pelaku penembekan, tim diminta
untuk tidak cepat puas. Koordinator Badan Pekerja Kontras,
Haris Azhar, meminta penyelidikan
tetap dilanjutkan untuk
memperdalam mengenai adanya
unsur perencanaan penyerangan.
Menurutnya, masyarakat masih menunggu informasi mengenai hal
itu. Selain itu menurut Haris, ada dua hal
utama lain yang harus dilakukan tim
invetigasi TNI AD. Pertama, adanya
pihak lain yang memiliki peranan
karena memberikan dukungan atas
kejadian tersebut. “Menyelidiki pihak-pihak lain yang
berperan dan memberikan support
atas terjadian itu. Karena ada
informasi bahwa dalam kurun tiga
hari sebelum empat orang korban
dieksekusi, ada pertemuan dan komunikasi antara pejabat dan
petinggi Polda,” katanya. Sementara yang kedua adalah
bentuk pertanggungjawaban pihak-
pihak tersebut, dalam hal ini
Kopassus Grup II Kartosuro, atas
terjadinya peristiwa ini. “Untuk melakukan hal tersebut
tentu saja harus ada kerjasama yang
baik antara TNI Angkatan Darat,
Polri dan Komnas HAM,” dia
menambahkan. Dalam kesempatan lain, walau Tim
Investigasi TNI AD telah
mengumumkan hasil temuan awal
pelaku penyerangan LP Cebongan,
Sleman, Komnas HAM tetap akan
melakukan investigasi terkait insiden yang menewaskan empat
tersangka pembunuhan Serka Heru
Santoso. “Komnas HAM mengapresiasi Tim
Investigasi TNI AD dan melanjutkan
rencana untuk bertemu dengan
Panglima TNI hari ini. Komnas tetap
melakukan apa yang sudah
direncanakan (penyelidikan),” kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila. Saya tahu adanya unsur sentimentil
terutama dari KOMNAS HAM dan
Kontras, terkait kasus pembunuhan
alm. Munir, yang diduga kuat adalah
hasil kerja militer dalam hal ini TNI-
AD. Jika memang benar bahwa TNI- AD yang membunuh Munir, maka
kami pun segenap bangsa Indonesia
menuntut bila perlu jika Presiden
SBY yang terlibat sekalipun, tuntut
dengan hukuman mati. Tapi para aktivis kedua LSM tersebut
di atas hendaknya ingat, balas
dendam hanyalah untuk dan kepada
pelaku yang bertanggung jawab
dalam kasus pembunuhan Munir. Jangan pula janda Serka Santoso,
yaitu ibu Indira yang sekitar bulan
Mei Insya Allah akan melahirkan
putra pertama hasil pernikahannya
dengan almarhum, lalu dijadikan
obyek balas dendam. Tidak pernah didatangi, tidak pernah
diberikan ucapan simpati, seolah jika
Juan Mambait dkk., sudah tewas
dibantai rekan-rekan almarhum,
maka tidak ada lagi urusan HAM
yang harus dibela dari seorang janda bintara TNI-AD, yang akan
melahirkan bayi yatim sebulan lagi ? Ibu Siti Noor Laila, bukankah anda
seorang Ibu? Dan Anda seorang
muslimah kan? Kenapa Anda begitu tidak peduli
dengan penderitaan saudara Anda
demi membela orang lain, yang
sudah jelas kriminal, pemerkosa dan
pembunuh. Bahkan sebagai seorang
penganut Katolik, dikabarkan Hendrik Sahetapy alias Deki Ambon
yang dibunuh Kopassus di LP
Cebongan, pernah disesalkan oleh
pastor nya sendiri. Sudah lah sang
pastor sesama orang Timur, sesama
katolik, pemuka agama pula, menasihati Deki agar kembali ke
jalan Tuhan untuk mengatasi
“kegalauan” jiwa yang sering
membuat onar. Deki, sebagaimana diungkapkan
sang pastor, tidak mau mendengar,
hingga pastor Benny, demikian
namanya, sampai mengatakan di
media bahwa kematian Deki di LP
Cebongan, ibarat hukum karma. “Siapa yang menabur angin, dia
menuai badai”. Deki dibunuh karena memang dia
pembunuh. Dalam Islam berlaku hukum Qishash,
sebagaimana juga dalam Injil dan
kitab suci agama lain, hukuman
paling adil untuk pembunuh, bukan
15 tahun penjara, bukan seumur
hidup, tapi hukuman mati ! Bahkan dalam Islam, hukuman mati
tidak berhak atas grasi dari Presiden
ataupun Raja. Yang berhak
memberikan grasi hanyalah
keluarga korban….dan itu berlaku di
Arab Saudi, walau sering disalahgunakan untuk menzhalimi
para TKI kita. Ini yang harusnya dipahami betul
oleh bu Siti ketua Komnas HAM. Yang harus jadi sasaran serangan
KOMNAS HAM bukanlah Kopassus
yang sudah secara sportif membuka
kasus ini, mengungkapkan
kesalahan anggotanya, dan saya
tidak heran jika mereka para pelaku sehabis ini akan diberhentikan
secara tidak hormat dari militer. Tapi para tentara pengangguran itu,
dengan akses terhadap kepemilikan
senjata yang begitu kuat, siapa yang
menjamin jika suatu saat tidak akan
“mengincar” bung Haris dan Ibu Siti
sebagai orang yang telah menghancurkan karir mereka. Mengapa? Inilah akibat hukum yang adil tidak
ditegakkan di Indonesia. Orang akan merasa sudah berusaha
menegakkan hukum yang adil, kok
malah hidupnya dihancurkan, tak
ada yang membela. Atau di sisi lain, karena tidak
berjalan nya hukum yang adil di
Indonesia: almarhum Munir gugur, seenaknya
saja negara melindungi
pembunuhnya, dan dengan tenang
Polycarpus masuk penjara, karena
memang tak ada hukuman mati
untuknya. Jika saja hukuman mati ditimpakan
pada Polycarpus, mungkin dia akan
berontak, dan membongkar bahwa
dia bukanlah aktor utama tewasnya
Munir. Ada orang yang lebih berhak
dihukum mati. Pun juga jika sudah pasti Deki, dan
geng sesat nya itu akan menghadapi
regu tembak, saya yakin para
anggota Kopassus Kartosuro Grup 2
yang menjadi tersangka kasus
penyerbuan LP Cebongan ini, mungkin akan lebih menahan diri. Karena sudah pasti jika, pembunuh
atasan mereka, yang sudah
membuat seorang wanita muda di
palembang menjadi janda muda,
dan akan melahirkan satu lagi bayi
yatim ke dunia ini……..akan dihukum mati, tanpa harus mereka yang
menuntaskannya. Presiden RI dan Menkumham serta
para anggota Komisi III DPR yang
membawahi bidang hukum lah,
yang harusnya menjadi sasaran
Komnas HAM, karena mereka tidak
kunjung berani menghidupkan hukuman mati hanya karena takut
tekanan dari pihak asing. Ada stigma saat ini, bahwa hanya
pembunuh WN asing sajalah yang
boleh dihukum mati, yaitu Amrozi
dkk. Namun pembunuh dan pemerkosa
bangsa sendiri boleh dihukum
maksimal 15 tahun !! Kita sering melihat di TV, amukan
keluarga korban pembunuhan di
persidangan, akibat putusan hakim
yang tidak menghukum mati
pembunuh keluarga mereka Korban perkosaan Deki Ambon,
hingga saat ini masih hidup dalam
trauma, sementara para korban bom
Bali sudah tewas semua. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya pada
para korban bom Bali, memang hukuman yang layak untuk preman-
preman yang sering meneror warga,
dan memaksa orang-orang
melanggar hukum Tuhan…hanyalah
hukuman MATI ! “Ini adalah ajaran semua agama, If
You’re Playing GOD, Terrorizing
People, than you deserve to DIE,
before you deserve HELL !” Inilah yang terjadi pada negara kita
jika keadilan Tuhan sering
dipermainkan demi kepetingan
pribadi. Hukum rimba dan
kekacauan kehidupan sosial seperti
kasus LP Cebongan ini yang terjadi. Keluarga Serka Santoso merasa
dizhalimi, keluarga Deki Ambon dkk.
merasa dizhalimi, dan mungkin
sebentar lagi para tentara yang
dipecat, akan merasa
dizhalimi…..dendam tiada habis. Seorang purnawirawan TNI AD
mengatakan pada saya, bahwa
prosedur yang disayangkan di sini
adalah, sudah tahu Deki dkk.
membunuh anggota TNI, dan
adanya ancaman balas dendam dari Korps. Mengapa kasus seberat itu,
kok tahanannya dipindahkan ke LP,
yang notabene hanya dijaga oleh
kekuatan sipil dan tak akan mampu
dari sisi manapun untuk melawan
jangankan Kopassus, mungkin kesatuan tentara biasa pun sudah
akan mampu membuat para sipi lari
kocar-kacir. Harusnya sebagaimana Irjenpol
Djoko Susilo yang ditahan di Mako
Polisi Militer Guntur, atau Susna
Duadji yang dulu ditahan di Mako
Brimob Kelapa Dua, para tahanan
tersebut harusnya diamankan di Markas Kepolisian yang
diperhitungkan aman dari serangan
TNI. Sekali lagi yang paling bersalah
dalam kasus ini adalah penegakan
hukum di Indonesia smbr:kompasiana.com/2013/04/05/
komnas-ham-mengabaikan-janda-
serka-santoso-demi-membela-deki-
cs-548428. html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar