Sebuah dering telepon pada hari Jumat, 5
Oktober 2012 lalu, membuat Menko Polhukam, Djoko Suyanto, terpaku diam.
Raut wajahnya serius menyimak laporan Juru Bicara KPK, Johan Budi,
yang mengabarkan berita genting. Dengan suara tegang dari seberang
telepon, Johan mengabarkan pengepungan anggota Polisi dan Densus 88 yang
bersenjata untuk menjemput paksa Novel Baswedan yang baru saja usai
memeriksa tersangka korupsi, Irjen Pol Djoko Susilo.
Mendapat laporan genting tersebut, Menko
Polhukam Djoko Suyanto saat itu juga menghubungi Kapolri Jenderal Timur
Pradopo untuk konfirmasi kebenaran berita tersebut, dan
menginstruksikan untuk segera menarik mundur pasukannya dari KPK malam
itu juga. Namun jawaban Timur Pradopo membuat Djoko Suyanto
mengernyitkan dahi. Timur mengaku tidak tahu menahu ada anggotanya yang
mengepung KPK. Lalu Timur menyebutkan sebuah nama, Nanan Sukarna. Djoko
Suyanto lantas segera menelepon Nanan saat itu juga dan dijawab Nanan,
“Siap laksanakan, malam ini juga!” menjawab perintah Djoko.
Sejak pukul 18.00 WIB, belasan mobil
mahal masuk gedung KPK. Dari dalam mobil-mobil berhamburan keluar
personel Polisi serta personel Densus 88 yang berpakaian safari dan
batik. Semuanya membawa senjata. Tujuan mereka cuma satu, menangkap
Novel Baswedan, hidup atau mati.
Mobil-mobil tersebut diparkir di samping
gedung KPK. Para Polisi berpakaian preman ini kemudian mematkan lampu
halaman depan gedung KPK dan merengsek masuk Gedung KPK. Sebagiannya
lagi menyebar ke samping dan belakang gedung KPK. Tampak di antara
mereka pejabat Polda Metro Jaya, AKBP Herry Heryawan, Kasubdit Resmob
Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Helmi santika, dan Direskrimum Polda
Metro Jaya Kombes Toni Harmanto.
“Jangan menghalangi kami. Ini tugas
negara!” bentak para Polisi tersebut kepada para Satpam Outsourcing KPK
yang membuat pagar betis, saat para tamu tak diundang tersebut mencoba
memaksa masuk KPK. Namun para Satpam KPK juga tidak kalah garang dan
balas membentak, “Kami juga menjalankan tugas negara!”. Adu mulut pun
tak terelakkan di gedung yang menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah
tersebut.
Sekitar pukul 20.00 WIB, rombongan
polisi dari Polda Bengkulu yang dipimpin Direskrimum Polda Bengkulu,
Kombes Dedy Irianto, tiba di gedung KPK. Dedy dengan sigap menunjukan
sepucuk surat (tanpa nomor) agar Novel menghadap Kepala Satuan Reserse
Kriminal (Korseskrim) Polri, Yasin Fanani, malam itu juga. Novel dituduh
melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian pelaku
perampokan Sarang Burung Wallet pada tanggal 18 Februari 2004 lalu
disaat Novel menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu.
Malam itu suasana di KPK sangat tegang
dan mencekam. Satu-satunya pimpinan KPK yang ada di kantor pada saat itu
hanyalah Wakil Ketua KPK, Zulkarnain. Para pimpinan lain sedang berada
di luar kota. Abraham di Makassar, Bambang di Samarinda, dan Busyro di
Yogya.
Peristiwa ini menjadi santapan empuk
para pemburu berita yang saat itu masih stand by di KPK setelah Djoko
Susilo selesai diperiksa KPK. Kabar pengepungan Polri terhadap KPK
menyeruak dengan cepat melalui BBM, Twitter, Facebook, dan Media Online
lainnya. Berita pengepungan ini mengundang para simpatisan dan pegiat
anti pemberantasan korupsi berbondong-bondong mendatangi KPK malam itu
juga. Motivasi mereka cuma satu, membela KPK mati-matian dan
mempertahankan penyidik KPK dari cidukan Polisi.
Kericuhan pun tak terhindarkan. Halaman
dalam gedung KPK dipenuhi massa yang berjumlah hampir 1.000 orang.
Kemarahan Massa tidak terkendali, semuanya histeris dan berteriak marah.
Gelombang massa yang mendukung KPK semakin malam semakin banyak
mendatangi gedung itu yang berdiri kokoh dan megah di Jl. Rasuna Said,
Kuningan, termasuk massa dari aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Tujuh Polisi
berpakaian batik terjebak dalam Lobby KPK. Abraham dan Bambang yang
mendengar berita genting ini langsung tancap gas menuju KPK, setelah
mendarat di Bandara Soetta. Setibanya di gedung KPK, Abraham tidak dapat
menahan emosi dan amarahnya. “Braakk!” Abraham menggebrak dan
menghantam meja didepannya.
Saat itu sudah banyak yang hadir di KPK
pada malam bersejarah itu, termasuk mantan pimpinan KPK, Erry R.
Ardjapamekas dan Amien Sunaryadi, anggota DPR, Martin Hutabarat dari
Gerindra serta Tjatur Sapto Edy dari PAN, Sepupu Novel, Anis Baswedan
yang adalah seorang Rektor Universitas, Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Denny Indraya, termasuk artis Glenn Fredly juga turut hadir di KPK
setelah membaca tweet pengepungan KPK di Twitter.. Semua yang hadir
marah dan geram.
“Kalian kalau mau dukung KPK bukan
begini caranya!!” Abraham membentak. Melihat suasana yang sudah tidak
kondusif tersebut, Novel yang masih berada di lantai Dua KPK segera
turun untuk menyerahkan diri pada polisi. Namun dengan tegas Abraham
melarangnya dan memerintahkan Novel kembali ke lantai dua.
Disaat yang bersamaan, malam itu juga
puluhan personel TNI termasuk pasukan elite TNI AL, Detasemen Jala
Mangkara (Denjaka), merapat ke KPK untuk membantu KPK. Para prajurit
elit tempur TNI ini dikerahkan atas perintah resmi Panglima TNI untuk
menjaga KPK.
Kakak kandung Novel Baswedan, Hafidz
Baswedan yang bertugas di TNI AL juga tampak hadir. Sang kakak
terpanggil untuk menyelamatkan adiknya. Para tentara yang merapat ke KPK
sudah siap tempur jika sampai terdengar tembakan dari Polisi di gedung
itu.
Sementara itu di dalam gedung KPK
sejumlah senjata disiagakan oleh para Polisi yang terjebak untuk
mengantisipasi jika situasi tidak memungkinkan. Perang sudah nyaris
pecah. Situasi tidak terkendalikan. Menjelang dini hari, atas instruksi
Nanan Sukarna, para Polisi tersebut akhirnya meninggalkan gedung KPK
dengan tangan hampa.
Peristiwa tersebut membuat Cikeas
berang. Sang Jenderal akhirnya memutuskan untuk turun gunung menangani
konflik yang berlarut-larut antara sang Cicak dan Buaya. Buntut dari
pidato sang Jenderal, Polda Bengkulu gagal dapat Penghargaan dari Polri,
justru membuahkan teguran langsung dari Kapolri terhadap Kapolda
Bengkulu.
0 komentar:
Posting Komentar