JAKARTA - Usman bin Ali dan Harun bin Mahdar, dua orang pejuang
Indonesia yang tengah ramai
menjadi pembicaraan
belakangan ini menyusul reaksi
keras Singapura atas penamaan
Kapal Perang Indonesia yang
menggunakan nama kedua
pejuang anggota Korps
Komando Operasi (KKO)
Angkatan Laut tersebut.
Bagi bangsa Indonesia, kedua
pemuda gagah berani itu
merupakan pahlawan pejuang
tanah air.
Karenanya mereka
mendapatkan kehormatan
untuk dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan, Kalibata,
Jakarta Selatan.
Setelah menjadi nama Kapal
Perang Indonesia sehingga
menyulut memanasnya
hubungan dengan Singapura,
makam Usman dan Harun
belakangan ini ramai
dikunjungi orang. Pengunjung
berasal dari berbagai kalangan,
baik itu dari pekerja media
maupun kalangan mahasiswa
dan masyarakat umum lainnya.
"Sudah seminggu ini banyak
yang tanya makam Usman dan
Harun. Ya wartawan, ya
mahasiswa, orang biasa juga
banyak yang datang ziarah,"
ujar Sapto, petugas di komplek
TMP Kalibata kepada
Tribunnews.com, Senin
(10/2/2014) sore.
Padahal, menurut Sapto, sehari-
harinya makam keduanya
sangat jarang bahkan sama
sekali tidak pernah diziarahi
siapa-siapa. Kalaupun ada
paling keluarga, itupun sangat
jarang.
Nama Usman dan Harun
memang kurang populer
dibanding beberapa pahlawan
beken lain yang dimakamkan di
Kalibata. Misalnya makam
pahlawan revolusi yang pada
zaman orde baru memang
mendapat tempat lebih dalam
kurikulum mata pelajaran
sejarah di bangku sekolah.
"Kalau biasanya (makam Usman
dan Harun) sepi, yang lumayan
ramai itu yang terkenal kaya
misalnya pahlawan-pahlawan
yang dibunuh PKI itu (Pahlawan
Revolusi) atau nama-nama
pahlawan yang namanya
dijadiin jalan," tutur Sapto.
"Kalau makam Usman-Harun sih
sebelumnya gak pernah ada
yang tanya," imbuhnya.
Pantauan Tribun, makam
Usman dan Harun terletak di
komplek D makam pahlawan
Kalibata, dengan posisi
berdampingan menempati
lokasi nomor 51 dan 50.
Berada di sisi timur TMP
Kalibata, makam dua pahlawan
Indonesia yang tewas dihukum
mati pemerintah Singapura itu
terlihat bersih lengkap dengan
helm tentara dan kendi
berwarna coklat sebagaimana
makam-makam lainnya.
Saat Tribun tiba, kebetulan ada
dua orang mahasiswa tengah
berziarah ke makam Usman dan
Harun. Keduanya terlihat asik
berdiskusi di sisi makam sambil
memandangi nisan dua
pahlawan tersebut.
"Kami memang sengaja datang
kemari, kebetulan kan namanya
memang sedang mencuat, dan
kematian mereka kan tragis,"
ujar Wendi (20) mahasiswa
jurusan Managemen, UIN Syarif
Hidayattullah Jakarta saat disapa
Tribun.
Wendi kemudian dengan fasih
menceritakan kisah heroik yang
dilakukan oleh Usman dan
Harun dalam era konfrontasi
dengan Malaysia pada masa
pemerintahan Presiden
Soekarno.
"Mereka adalah pahlawan kita,"
tuturnya.
Namun Wendi juga mengatakan
sikap Singapura yang bereaksi
dengan penamaan Kapal Perang
Indonesia dengan nama
keduanya harus dipahami
secara bijak.
Menurutnya walaupun bangsa
Indonesia menganggap Usman
dan Harun sebagai pahlawan,
Singapura yang pada saat itu
berada di posisi yang
berseberangan dengan
Indonesia tentu memiliki
pandangan yang bertolak
belakang.
"Ya saya kurang paham juga
kalau berada di posisi mereka
(Singapura), karena mereka
mungkin masih trauma ya,"
tuturnya.
Namun Wendi sepakat jika
keduanya merupakan pahlawan
Indonesia dan nama mereka
layak diabadikan sebagai nama
Kapal Perang Indonesia.
Berlainan dengan Wendi dan
kawannya, Sapto, sang petugas
makam, justru memiliki
pendapat yang berbeda.
Menurutnya, reaksi Singapura
sudah terlalu berlebihan dan
terlalu mencampuri urusan
dalam negeri Indonesia.
"Ganyang aja (Singapura)
sekalian. Waktu itu kan kita
sedang perang, ya mereka
(Usman-Harun) pahlawan
kitalah, masa dijadiin nama
Kapal Perang malah (Singapura)
protes," ujarnya mantap.
Kematian tragis dua orang
anggota Korps Komando
Operasi (KKO) Angkatan Laut itu
memang menjadi kontroversi
dalam hubungan dua negara
tetangga Indonesia dan
Singapura.
Usman dan Harun dihukum
mati oleh pemerintah Singapura
atas tindakan mengebom
McDonald House di Orchrad
Road yang menewaskan tiga
orang pada masa konfrontasi
dengan Malaysia, pada 1965.
Keduanya dieksekusi di
Singapura pada 17 Oktober
1968.
Penggunaan nama keduanya
sebagai nama Kapal Perang
milik Indonesia menyulut reaksi
keras dari Singapura yang
menyebut tindakan tersebut
telah mengorek luka lama dalam
hubungan kedua negara.
0 komentar:
Posting Komentar